Ceria di Open House

Ceria di Open House 2

PENDAFTARAN SISWA BARU 2010/2011

Tahun Pelajaran 2010/2011 Smart Class YSKI Tanjung kembali menerima siswa baru. Tahun ini proses seleksi ditangani penuh oleh YSKI terutama dalam hal pelaksanaan tes inteligensi.

Lembaga yang menangani tes kecerdasan sebagai syarat masuk Smart Class adalah ACC (Atonement Counseling Center-Pusat Konsultasi Psikologi) yang beralamat di Jl. Hawa IV, No. 8 Semarang, telp. (024)8445053.

Pada acara HUT ke-39 PG-TK-SD Kr 3 YSKI, 7 Februari 2010, ACC memberikan layanan tes penjajagan kecerdasan gratis untuk anak yang berusia kurang dari 6 tahun. Hasil tes yang mengindikasikan anak berpotensi masuk Smart Class dapat ditindaklanjuti dengan mengikuti tes kecerdasan lengkap di ACC dengan biaya Rp 80.000. Untuk konsultasi Rp 100.000. Jika daftar tes sekaligus konsultasi cukup membayar Rp 150.000.

Khusus PG, TKB, dan SD Reguler ada potongan 1 juta rupiah. Bagi yang akan masuk SD tetapi daftar sejak PG dapat potongan khusus. Informasi lebih lanjut datang ke kampus SD Kristen 3 YSKI, Jl. Tanjung 14 Semarang. Atau telpon ke 3549914.

Smart Class Chess Competition, January 24th 2010

Senin, 25 Januari 2010

Seberapa tinggi moral kita ?

Seperti halnya aspek kognisi, afeksi, dan motorik, aspek moral juga mengalami tahap-tahap perkembangan. Oleh Kohlberg, William Damon, Robert Selmon, Garbarino, Bronfenbrenner, Erickson, Lickona, perkembangan moral manusia dibagi menjadi beberapa tahap. Megawangi (2007) merangkum tahap-tahap perkembangan moral manusia menjadi lima tahap. Tahap pertama disebut sebagai tahap terendah perkembangan moral seseorang dan tahap kelima adalah tahap tertinggi moral seseorang. Kelima tahap itu adalah :
1. Berpikir Egosentris (Self-Oriented Morality)
2. Patuh Tanpa Syarat (Authority-Oriented Morality)
3. Memenuhi Harapan Lingkungan (Peer-Oriented Morality)
4. Ingin Menjaga Kelompok (Collective-Oriented Morality)
5. Moralitas Tidak Berpihak (Objectively-Oriented Morality)

Tiap tahap memiliki ciri-ciri yang dapat dapat diamati dari perilaku individu yang sedang berproses. Berikut ciri-ciri tiap0tiap tahapan :
1. Berpikir Egosentris (Self-Oriented Morality)

Ciri-ciri seseorang yang berada dalam tahap ini antara lain :

  • Mau berbuat baik jika mendapatkan hadiah atau pujian.
  • Menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman.
  • Senang melanggar aturan.
  • Senang memamerkan diri.
  • Senang memaksakan keinginannya yang kadang-kadang dilakukan secara manipulatif dan berbohong.

2. Patuh Tanpa Syarat (Authority-Oriented Morality)
Usia kalender berkisar antara 4 – 8 tahun. Ciri-ciri anak-anak yang telah mencapai tahapan moral ini adalah :
  • Bersedia patuh pada aturan yang dibuat orang tua atau orang dewasa agar terhindar dari masalah atau hukuman.
  • Menganggap pendapat yang paling benar adalah pendapat orang dewasa.
  • Senang mengadukan kawan-kawannya yang nakal.
  • Orang dewasa adalah satu-satunya panutan moral.
  • Pelanggar harus dihukum, yang baik harus diberi hadiah.
  • Belum tahu mengapa peraturan dibuat.
  • Jika tidak ada yang mengawasi, mereka cenderung melanggar aturan.
  • Balas membalas, yaitu jika orang lain berbuat baik maka saya akan berbuat baik juga demikian sebaliknya.
  • Sering membanding-bandingkan.
  • Selalu menuntut keadilan. Jika tidak mendapat keadilan ia akan melanggar perintah.
  • Tidak bisa melihat dari sisi orang lain dan tidak sensitif terhadap perasaan orang lain sehingga cenderung bersikap kasar.
  • Kurang bisa melihat suatu tindakan salah sehingga berbohong dan curang dianggap hal yang biasa.
  • Merasa puas jika pekerjaannya telah selesai.

    3. Memenuhi Harapan Lingkungan (Peer-Oriented Morality), ciri-ciri :
  • Ingin mendapatkan penghargaan sosial. Ia mau berbuat sesuatu kebaikan hanya untuk mendapatkan anggapan ”orang baik”.
  • Memperlakukan orang lain dengan harapan orang lain memperlakukan hal yang sama dirinya.
  • Dapat mengerti apa yang dibutuhkan orang lain.
  • Menganggap orang tua adalah orang yang bijak sehingga perlu mengikuti nasihatnya.
  • Bisa menerima tanggung jawab dan melakukannya untuk kepentingan keluarganya.
  • Sadar bahwa mereka anggota sebuah kelompok.
  • Rela melakukan apa saja termasuk yang negatif agar dapat diterima kelompoknya.
  • Mudah menerima pengaruh teman sebaya.
  • Tahapan ini biasanya dapat dicapai oleh anak-anak yang berusia antara 8,5 - 14 tahun.

4. Ingin Menjaga Kelompok (Collective-Oriented Morality)

  • Setia kepada aturan-aturan atau kode etik kelompok/masyarakatnya dengan tujuan tercipta ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat itu.
  • Ia menjalankan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat demi ketertiban masyarakat.
  • Percaya bahwa manusia yang baik adalah yang bertanggung jawab terhadap peran dalam sistem sosial.
  • Lebih mandiri sehingga tidak lagi sekedar menuruti keinginan kawan-kawannya.
  • Dapat melihat dampak yang lebih besar dari sebuah tindakan negatif.
  • Peduli kepada sesama anggota sistem sosial (keluarga, masyarakat, agama) walaupun kepada orang yang tidak dikenalnya.
  • Sadar bahwa dirinya harus melakukan peran untuk keutuhan sistem sosialnya.
  • Sadar pentingnya menjadi warga negara yang baik.
  • Tertarik pada masalah politik.
  • Berlaku tidak adil kepada orang yang berbeda sistem sosialnya.

Seseorang yang telah mencapai tahap ini sudah dianggap bagus namun tahapan ini belum mencerminkan kualitas moral tertinggi. Seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata untuk mempertahankan sebuah sistem sosial kemasyarakatannya belum tentu memiliki tingkatan moral tertinggi, bisa saja sebuah sistem sosial mempengaruhi individu untuk berbuat tidak baik, misalnya demi menjaga keutuhan sistem sosial atau menjaga harga diri masyarakat sosialnya, rela melakukan perang, padahal dalam peperangan tentu tidak dapat menghidari perbuatan membunuh orang lain. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang telah mencapai tahapan kelima atau tahapan tertinggi.

5. Moralitas Tidak Berpihak (Objectively-Oriented Morality).
Disebut tahap moralitas yang paling tinggi. Ciri-ciri seseorang telah mencapai tahap ini antara lain :
  • Menghormati hak azasi manusia.
  • Tidak bergantung pada kepentingan pribadi maupun kelompok.
  • Dapat mempertahankan prinsip-prinsip moral yang menghargai hak azasi manusia, walaupun harus bersebrangan dengan sistem yang ada.
  • Berpegang teguh pada prinsip moral universal walaupun harus bertentangan dengan kelompok/masyarakat/pemerintah.
  • Memegang teguh komitmen atas persamaan hak seluruh umat manusia.
  • Perbuatan baiknya didasari oleh pemahamannya bahwa setiap manusia berhak mendapatkan perlakuan yang baik, jadi bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok.
  • Bersikap objektif dalam menilai kebenaran walapun harus berada di luar ideologi sosial tempat asalnya.
  • Tidak memaksakan kehendanya.
  • Merasa berkewajiban membantu siapa saja.
  • Tujuan tidak membenarkan cara, misalnya tujuan bagus tidak boleh dilakukan dengan cara yang buruk.
  • Komit terhadap tanggung jawab.
  • Semua manusia diperlakukan sama secara moral.

Menurut Thomas Lickona, seperti dikutip Megawangi (2007), fase kelima dapat dicapai pada usia 20 tahun. Mereka yang sudah bisa mencapai tahap ini akan mengacu pada hati nurani. Perbuatan baiknya karena hati nuraninya memang berkata demikian, jadi bukan karena kepentingan pribadi atau kelompoknya. Seseorang yang telah mencapai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat menghargai hak azasi manusia. Mereka juga tidak mudah terprovokasi atau termakan propaganda pemimpinnya, karena nuraninya hanya berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral yang menghargai setiap manusia, walaupun berbeda sistem sosial atau bahkan agamanya.
Bagi orang dewasa, pemahaman tahapan-tahapan moral seperti dikemukakan di atas kiranya dapat digunakan sebagai tolok ukur seberapa tinggi tahapan moralnya. Logikanya semakin banyak usia kita mestinya tahapan moral yang dicapai tinggi pula bukan justru sebaliknya. Bagi guru, pemahaman tersebut bermanfaat untuk membantu peserta didik dalam mencapai tahap-tahap moral sesuai dengan perkembangannya. Guru hendaknya mampu menggunakan langkah-langkah yang tepat ketika memberikan bimbingan kepada peserta didiknya, terutama dalam pendidikan karakternya, agar tidak terjadi upaya pemaksaan atau salah menggunakan kriteria ketika menentukan intervensi dalam rangka membantu perkembangan karakter anak.

Disarikan dari :
Megawangi, R. (2007).
Pendidikan Karakter
yang Sesuai dengan Tahapan Moral Anak.
Pendidikan Karakter.
Indonesia Heritage Foundation : Jakarta

Baca Selengkapnya..

E-Learning, antara Ya dan Tidak

A. Pendahuluan
Persaingan dunia pendidikan semakin hari semakin ketat. Masing-masing lembaga menawarkan fasilitas belajar yang wah. Program pembelajaran juga sering dibuat “seolah-olah” disesuaikan dengan kebutuhan calon peserta didiknya walaupun kenyataannya jauh dari harapan. Tidak jarang sekolah mempromosikan diri sebagai sekolah dengan pembelajaran berbasis komputer. Entah latah atau memang dipersiapkan secara sungguh-sungguh, yang jelas pembelajaran berbasis komputer telah merambah di berbagai tingkatan sekolah, termasuk di dalamnya pendidikan anak usia dini. Permasalahan yang muncul adalah ketika lembaga atau institusi memproklamirkan diri sebagai sekolah yang berbasis komputer (elektronik) atau e-learning banyak guru justru belum memahami apa e-learning itu. Lebih parah lagi guru dalam mengoperasikan komputer masih nunak-nunuk pijer salah.

B. Mengapa harus E-Learning
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berbasis komputer dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Massy bersama Zemsky (1995), dan Pavlik (1996) mengungkapkan manfaat TIK antara lain : (1) Teknologi Informasi (TI) menawarkan efisiensi ekonomis. Sekalipun investasi awal biasanya sangat besar, namun pada tahapan selanjutnya terutama dalam hal pemerolehan informasi biaya penggunaan akan cenderung rendah. (2) TI menawarkan penyeragaman massal: teknologi memungkinkan institusi mengakomodasi perbedaan yang ada pada individu-individu seperti tujuan belajar, gaya belajar dan kemampuan serta kenyamanan belajar, baik bagi mahasiswa maupun universitas, kapan saja dan dimana saja.
Dalam sistem pembelajaran tradisional, guru harus menghadapi multitugas, yakni merancang dan merencanakan pembelajaran, menentukan arah pembelajaran (navigator); memberikan advice pada peserta didik dalam proses belajar-mengajar; instruktur sekaligus mengajar ; mentor, membantu peserta didik berhubungan dan beradaptasi dengan dunia luar, dan ; evaluator. Di dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh TI memberikan keuntungan yakni dapat mengambil alih fungsi guru terutama dalam hal merancang desain belajar mengajar dan instruktur, sementara guru hanya sebagai navigator dan pembimbing. Dengan demikian guru dapat memaksimalkan produktivitas kerjanya di bidang akademis yang lain. Menurut Pavlik (1996), berdasarkan penelitiannya di Amerika Serikat, seperti dikutip Perbawaningsih (2005), pemanfaatan TI dalam pendidikan lebih efektif dan menguntungkan dibanding penggunaan teknologi instruksi konvensional dalam hal: 30% lebih menghemat waktu, 30-40% menghemat biaya dan lebih meningkatkan prestasi mahasiswa.

Dalam konteks electronic learning atau e-learning sebagai salah satu bentuk pembelajaran yang menggunakan teknologi informasi, AW Bates (Bates 1995) dan K Wulf (Wulf 1996), seperti yang dikutip oleh Perbawaningsih (2005), menyebutkan ada 4 keuntungan penyelenggaraan pendidikan semacam ini yaitu: (1) meningkatkan kadar interaksi pembelajaran antara peserta didik dengan guru atau instruktur (enhance interactivity), (2) dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Sifat internet yang tidak mensyaratkan sinkronitas memungkinkan instruktur dan peserta didik dapat terlibat dalam proses pembelajaran dalam waktu dan tempat yang berbeda, (3) sangat mampu menjangkau audience secara luas dan global, dan (4) mudah melakukan pembaruan materi pembelajaran dan menyimpan data/dokumen.


C. Persiapan yang Harus Dilakukan

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berbasis komputer dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun demikian, efisiensi dan efektivitas pemanfaatan TIK sangat dipengaruhi mental belajar dan pemahaman teknologi yang tinggi oleh pendidik dan peserta didik. Jika kedua hal tersebut dapat terpenuhi maka penggunaan TIK yang mahal tidak terasa mahal karena manfaat yang diperoleh lebih besar dari cost yang dikeluarkan. Lalu apa saja yang harus dipersiapkan dalam melaksanakan pembelajaran berbasis komputer. Berikut beberapa syarat yang mestinya menjadi perhatian sebelum menetapkan sekolah sebagai lembaga yang proses belajarnya menggunakan pendekatan e-learning :
1. Situasi makro suatu negara, meliputi: (a) sikap positif masyarakat pada teknologi komputer dan internet, yang ditunjukkan dari semakin banyaknya jumlah pengguna dan penyedia jasa internet, (b) harga perangkat komputer yang relative murah dan dapat dimiliki oleh masyarakat, (c) kemampuan teknologi memproses data secara cepat dan kapasitas penyimpanan yang besar, dan (d) luasnya akses atau jaringan komunikasi.
2. Sikap dan perilaku positif pada TIK. Menurut Perbawaningsih (1998) pelatihan komputer, tingkat familiaritas, kebutuhan, dan exposure terhadap informasi yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi merupakan faktor pendorong sikap dan perilaku positif pada TIK.
3. Kemampuan manusia meliputi penguasaan teknologi komputer dan internet untuk kepentingan e-learning, dan kemampuan mengakses internet (Siahaan, 2004). Hal itu berarti guru dan murid harus melek teknologi dan memiliki sikap positif terhadap teknologi.
4. Standarisasi hardware, software maupun dataware.
5. Dukungan pengelola sekolah/yayasan yang maksimal.
D. Kendala
1. Masih banyak guru yang belum mampu mengakses internet. Ketidakmampuan ini bisa jadi karena tidak memiliki kemampuan mengoperasionalkan komputer dan internet, tidak memiliki perangkat komputer, sewa komputer cukup mahal, atau bahkan tidak ada pekerjaan yang mengharuskan mereka menggunakan teknologi ini.
2. Menurut penelitian sebagian besar akademisi mengaku tidak memiliki pendidikan atau pelatihan formal di bidang komputer.
3. Komputer bagi sebagian besar orang masih difungsikan sekadar olah kata (word processing).
4. Pengajar tidak memanfaatkan secara maksimal TIK dalam proses belajar mengajar, misalnya memanfaatkan media presentasi audio visual atau internet untuk menelusuri referensi. Hal ini bisa saja diakibatkan oleh ketidakmampuan pengajar dalam menggunakan beragam aplikasi TIK atau kesulitan pengajar dan peserta didik mengakses teknologi tersebut. Sikap negatif terhadap teknologi.
5. Pengetahuan dan pemahaman teknologi para instruktur di Indonesia ternyata masih tergolong rendah.
6. Gaya belajar peserta didik yang pasif dan semangat belajar mandiri yang rendah. Hal tersebut sangat menghambat pelaksanaan e-learning sebab pembelajaran berbasis komputer tentunya diperlukan semangat belajar yang tinggi sehingga menimbulkan gaya belajar aktif dan mandiri.
Dari uraian di atas, betapa banyak permasalahan yang menghadang di depan rencana pelaksanaan E-Learning di suatu sekolah. Niat baik untuk maju dan sikap positif terhadap kemajuan teknologi saja tidak cukup bagi sekolah atau institusi pendidikan dalam melaksanakan E-Learning. Mesti harus dipersiapkan sungguh-sungguh, baik SDM, program, konten, dan kebijakan-kebijakan yang menjadi landasan pelaksanaan E-Learning. Pada era teknologi ini, E-Learning menjadi suatu kebutuhan. Namun demikian, kajian yang mendalam melalui studi lapangan yang jujur kiranya dapat digunakan sebagai tolok ukur kesiapan sebuah lembaga pendidikan melaksanakan E-Learning. Penggunaan istilah E-Learning hanya sekedar gagah-gagahan atau mungkin latah sangat tidak bermanfaat bagi siapa pun terutama masyarakat sekolah itu sendiri sebab mereka adalah pihak pertama yang menjadi sasaran penilaian dan evaluasi masyarakat menyangkut konsistensi antara apa yang pernah disampaikan dengan kenyataan di lapangan.

Refrerensi :
Massy, W.F. and Zemsky R. 1995. Using Information Technology to Enhance Academic
Productivity. Http://www.educom.edu/program/nlii/keydocs/massy.htm.
Pavlik J. 1996. New Media Technology. Cultural and Commercial Perspectives. Singapore: Allyn
and Bacon.
Perbawaningsih J. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap dan Perilaku terhadap
Personal Computer. Analisis Perbandingan Budaya Teknologi di Kalangan Akademisi
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta: Kasus di Universitas Gadjah Mada dan Universitas
Atma Jaya Yogyakarta. Thesis. Jakarta. Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia.
Siahaan S. 2004. E-Learning (Pembelajaran Elektronik) sebagai Salah Satu Alternatif Kegiatan
Pembelajaran. Dalam “Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi Januari 2004 Tahun ke
10 No 46”. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional.
Baca Selengkapnya..

Enterpreuneur di Smart Class

Latar belakang :
An entrepreneur is: The person who habitually creates and innovates to build something of recognized values around perceived opportunities (Bolton & Thompson, 2004). Seorang entrepreneur adalah :Orang yang terbiasa mencipta dan berinovasi untuk membangun sesuatu yang mempunyai nilai-nilai yang terakui berdasarkan peluang yang ditemukan.
Bangsa Indonesia dikategorikan sebagai bangsa yang miskin, jauh dari kemakmuran meski memiliki kekayaan alam melimpah. Kemiskinan terjadi karena bangsa ini tidak dapat mengelola sumber daya alam yang begitu melimpah. Untuk menjadikan negara ini makmur tentu dibutuhkan orang-orang yang mampu mengelola SDM jujur dan tulus demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga diperlukan enterpreneur- enterpreneur handal. Menurut Thomson, 2004, negara mampu mencapai kemakmuran jika minimal 2% dari jumlah penduduknya memiliki jiwa enterpreneur. Dengan demikian, untuk mencapai kemakmuran Indonesia paling tidak memiliki 4,4 juta enterpreneur. Berdasarkan catatan BPS seperti dikutip Ciputra, Indonesia baru memiliki SDM berjiwa enterpreneurship sekitar 400 ribu atau 0,18%. Jumlah yang masih sangat jauh dari standar minimal.
Berbekal dari pengetahuan tersebut, Pimpinan PG-TK-SD Kristen 3 YSKI bermaksud ingin melakukan terobosan dengan melaksanakan pembaruan sistem pendidikan namun tetap menjunjung tinggi visi dan misi sekolah. Terobosan itu adalah dengan memasukkan pendidikan enterpreneurship pada jenjang kelas tertentu. Pendidikan Entrepreneurship yang akan dikembangkan tidak semata-mata melatih siswa menjadi pengusaha atau pedagang, sebagaimana yang dipahami masyarakat secara umum, tetapi melatih siswa untuk memiliki kebiasaan mencipta dan berinovasi serta melihat peluang untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai, melalui pelajaran-pelajaran yang dibelajarkan di sekolah. Landasan pendidikan berbasis kewirausahaan, entrepreneurship-based education, adalah pembentukan sikap belajar yang berdasarkan creating and innovating habit (kebiasaan mencipta dan berinovasi), yang menjadi ciri dari pendidikan entrepreneur.
Demi menjaga keberlangsungan pendidikan enterpreneurship di PG-TK-SD Kristen 3 YSKI, materi-materi diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran. Hal ini sekaligus sebagai bentuk konkret pengembangan kurikulum 2006 (KTSP) yang selama ini telah digunakan oleh sekolah. Terapan di lapangan, siswa tidak saja sekedar belajar mengenai knowledge tetapi juga menggabungkan skill dan character building sebagai satu keutuhan yang dikemas dalam berbagai project yang pada akhirnya akan memunculkan creating and innovating habit.

Dasar :
Rancangan penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada :
1. UUD 1945 hasil amandemen, pasal 31 ayat 1 tentang hak warga negara memperoleh pendidikan.
2. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, pasal 1, ayat 1
3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II, pasal 3
4. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV, pasal 5
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab IV, pasal 19 ayat 1.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab V, pasal 25 (ayat 1-3) dan pasal 26 ayat 1.
Tujuan :
1. Tujuan Umum :
Melatih siswa untuk memiliki kebiasaan mencipta dan berinovasi serta melihat peluang untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai, melalui pelajaran-pelajaran yang dibelajarkan di sekolah.
2. Tujuan Khusus :
Melatih siswa menghasilkan produk yang memiliki nilai jual.
PELAKSANAAN
Program pembelajaran enterpreneurship yang berlabel Pendidikan Berbasis Kewirausahaan (entrepreneurship-based education) diselenggarakan menggunakan kurikulum plus (KTSP Plus). Bentuk kegiatan didesain dalam bentuk : 1). Pembelajaran di dalam kelas, 2). Pembelajaran di luar kelas, misalnya : kunjungan (ke berbagai industri kecil, menengah, dan besar), pentas kreasi. 3). Praktik pemasaran di lapangan. Praktik pemasaran di lapangan dikemas dalam bentuk a). My Product for Sale, yaitu penjualan produk anak-anak kepada khalayak yang dilaksanakan oleh sekolah. Hasil penjualan 90% dikembalikan ke anak, 10% untuk subsidi pengadaan perlengkapan produksi yang diperlukan anak. b). Show Creations, pameran produk anak-anak yang dilaksanakan di akhir semester. b). Garage Sal, yaitu penjualan barang-barang bekas milik anak-anak/keluarga. Jenis barang : perlengkapan sekolah, pernak-pernik anak-anak, game, buku-buku nonfiksi. Dilaksanakan sebulan sekali.
Baca Selengkapnya..

Kamis, 21 Januari 2010

PERCAYA DAN KAMU BERHASIL

Oleh : Hopman Eltho, S.Th. MA
Kabag Kerohanian YSKI

Seorang pasien akan lebih mudah disembuhkan jika dia percaya kepada dokter atau perawatnya. Semakin total tingkat kepercayaannya, semakin cepat pula kesembuhannya.
Pengaruh seperti ini akan jauh lebih besar bila pasien memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi kepada Allah yang menciptakannya. Kepercayaan ini disebut Iman. Dengan adanya iman yang kuat kepada Allah yang menciptakan dirinya dan memiliki tubuh serta jiwanya, harapan akan kesembuhan menjadi lebih besar.
Harapan ini akan terwujud dalam bentuk pikiran yang positif dengan membayangkan bahwa dirinya sudah sembuh, semua keluhan dan gejala penyakitnya tidak menghantuinya lagi dan juga pasien tidak merasa khawatir akan kemungkinan biaya pengobatan mengingat kesembuhannya pasti cepat terjadi.
Dan paling akhir tetapi tidak kalah pentingnya, keberadaan kasih yang memancar dari dalam diri pasien sekaligus yang diterimanya dari sesama termasuk orang-orang yang merawatnya (keluarga, dokter, perawat). Catatan Penting:Analogi di atas tidak bermaksud mengatakan bahwa siswa YSKI sedang” sakit”.
Siswa YSKI harusnya dapat meuai hasil yang maksimal (pasti lulus 100 %) kalau dari sekarang bahkan awal tahun ajaran pertama masuk sekolah percaya bahwa YSKI melalui guru yang mengajar mempersembahkan yang terbaik untuk mereka. Segala usaha yang terbaik untuk meningkatkan semangat belajar dan prestasi siswa dari guru akan menuai hasil sebaliknya, jika siswa YSKI tidak percaya pada guru dan pihak sekolah (tidak serius sekolah atau tidak mengikuti pelajaran dan kegiatan pendukungnya dengan baik = penuh perhatian ). Artinya keberhasilan siswa didik sesungguhnya ditentukan oleh dirinya sendiri; seberapa besar kepercayaan akan semua hal yang dipresent kan YSKI bagi mereka.
Ayo Siswa/i YSKI, khususnya kelas Ujian kelulusan; jangan bimbang dan ragu, masih ada waktu untuk menulis kembali hal-hal yang terlupakan PERCAYALAH hasil terbaik akan anda capai, civitas akademika YSKI percaya kamu bisa; sebab TUHAN bersama orang yang dikasihinya.
Baca Selengkapnya..

Jumat, 08 Januari 2010

Testimoni

Yenny Krisbiyanti, orang tua Gilbert Stanis Bastiantama Saya selalu merasa tidak salah memasukkan anak saya di Smart Class. Anak saya terlihat enjoy dewasa dan memiliki tanggung jawab yang lebih nyata. Saya melihat anak saya begitu “mencintai”guru-gurunya. Dan yang pasti di Smart Class anak saya senang belajar karena diterapkannya system belajar yang menarik sehingga tidak membosankan. Saya selaku orang tua bersyukur YSKI merupakan sekolah yang mampu membuat kelas yang berbeda dan menyenangkan yaitu Smart Class.

Sri Marlina, orang tua Auw Genta Ramadhan Dengan adanya sekolah Smart Class kita dapat mengetahui bakat dan potensi anak kita. Tidak semua anak dapat masuk dan mengikuti pelajaran. Beruntunglah anak kita yang dapt masuk di Smart Class. Terima kasih YSKI

Agustine Ratih Asmaraningtyas, S.Pd., orang tua Bintang Riza Saya senang anak saya di Smart Class. Dia mendapat tempat yang tepat karena bisa belajar bersama teman-teman yang memiliki kemampuan berpikir seimbang, sehingga anak saya tidak bosan. Dengan system belajar yang pas juga mengajari anak untuk cerdas emosi selain cerdas logika. Keseimbangan itu membuat tumbuh optimal.

Tirza Evyta Andayani, Psi, orang tua J. Hazkel Victoria Okadasa Saya beruntung anak saya Hazkel berada di kelas yang tepat untuk sekolah yang tepat karena Smart Class dengan program pembelajaran Quantum Learning membuat anak belajar dengan fun, senang, gembira, sehingga materi dapat diterima dengan lebih mudah. Orang tua lebih santai karena guru-guru sangat qualified kami bisa percayakan anak dapat belajar dengan tenang tanpa stress atau bosan tapi jadi antusias dan semangat. Good Smart Class.

Diana Darwis, orang tua Jevenzley Maxvell Hanson YSKI telah melakukan satu terobosan yang sangat baik dengan dibukanya Smart Class. Smart Class ini menurut saya wadah yang tepat untuk mengembangkan potensi anak dan dapat membina anak tidak hanya dari segi intelligensinya tapi segi emosional anak juga bisa terbina dengan baik

Rahmat B. Dwiyanto, orang tua Felicia Monica Kristi Keputusan saya memilih YSKI menurut saya sangat tepat karena anak saya di Smart Class mendapatkan pendidikan yang sangat baik.
Baca Selengkapnya..